Kamis, 13 Maret 2014

Hujan

dalam lamunanku di tengah rintik hujan, diiringi gelapnya senja di hari ini, tak lama kau hadir dengan teh hangat dan bicara perlahan "aku cinta kamu".
"hey! kamu sudah tidur terlalu lama! ayo bangun! jam berapa ini?" bentak boris padaku.
"ah aku mimpi itu lagi boris!aku kira kamu ve. benar katamu, aku sudah terjebak dalam angan bersama dia boris."
"hey kau ini tidak benar-benar mendengarkan penjelasanku! sudah kubilang. terjebak bukan berarti tak bisa keluar! kau saja yang lemah!" nada boris semakin tinggi
"seandainya kamu tau bagaimana rasanya, tentu kamu tidak akan bicara begini, aku sungguh mencintai dia boris" ungkapku pada boris. kalimat terakhir perbincangan kami sebelum dia berlalu tanpa sebab.

Ve adalah orang yang paling penting dari hidupku. sejauh ini hanya itu alasan yang paling masuk akal mengapa aku masih belum mampu melupakan dia.

"boris aku berangkat dulu ya" aku berpamitan pada boris, dia adalah teman karibku kurang lebih 4 tahun ini
"baik lah, hati-hati kau ya! bila kau pulang, semoga kau sudah melupakan dia" kalimat sindiran boris yang selalu ku dengar setiap pagi

aku berjalan perlahan, melewati setiap jalan yang pernah aku lalui bertahun-tahun lalu, semua sama. satu hal yang berbeda adalah aku tidak menggenggam siapapun, ve tidak lagi bersamaku.

sebuah kalimat perpisahan yang dia ucapkan terakhir kali kami bertatap mata adalah
"jujur, mungkin kamu adalah pria yang tepat, di saat yang tepat"
sebuah kalimat dingin dengan ekspresi wajah yang nyaris tanpa dosa dari dia membuatku bingung.
sejujurnya.

tak lama kalimat itu terngiang di telinga, aku melihatnya, aku melihat ve berjalan di sekitar taman. taman yang sama, seperti beberapa bulan lalu. hanya kini, pria itu bukan aku lagi.

aku memerhatikannya dari kejauhan. ragu bahwa itu dia. namun aku tidak salah kaliini. bila biasanya hanya sebatas imajinasi. kini berbeda. ini memang dia.

rambutnya kini pirang, ia bahkan nampak lebih putih. namun kini ia menggunakan kacamata. sesuatu yang jauh darinya dulu. ya mungkin aku terlalu jauh. terakhir aku melihatnya ketika kami sma dulu.

aku mendekatinya perlahan, aku tau ini hari senin, aku tau aku hampir terlambat. semua seakan tak berlaku di detik itu. aku hanya ingin mendekatinya dan bicara. sedikit saja.

namun, sesaat setelah aku berniat mendekatinya, dia pergi. dia menoleh ke arahku, dan kemudian memberiku semacam kode, dia mengacungkan telunjuknya pada kursi yang ia duduki tadi.

aku berusaha mengejarnya, aku berlari. namun ia terlampau cepat menaiki mobil pajero itu. dia terlalu cepat.
melihat perangainya yang seakan memberi kode bahwa ia meninggalkan sesuatu untukku itu benar. dia meninggalkan secarik kertas dengan beberapa huruf tertata rapi di pojok kanan atas.
"Untukmu, terkasih."

mendengar kalimat yang mungkin sebuah tajuk yang mengawali kalimat-kalimat lain membawa aku melambung tinggi. kalimat pembuka itu mengisyaratkan perasaannya untukku. setidaknya, itu yang aku duga.

"haloooo teman sekelas! bagaimana kabarmu?"
"aku ingin beri tau kamu sesuatu, aku akan menikah. aku akan menikah minggu depan."
"aku ingin kamu tau, bertahun-tahun sejak pertemuan terakhir kita, aku masih sering memimpikanmu."
"terjebak dalam angan denganmu. dan mimpi itu selalu sama. mimpi saat kita duduk bersama di halaman rumahmu. kala hujan riuh membasahi bumi:"
"aku ingin kamu tau, setelah kamu membaca tulisan ini, aku menyayangimu. selalu begitu sejak dulu."
"selain itu, ini adalah pesan yang pertama dan terakhir setalah bertahun-tahun kita tak berkomunikasi."
"aku meninggalkanmu dalam sebuah kebingungan. sejujurnya, ibu tidak pernah setuju dengan semua ini. dengan hubungan kita."
"ibu menyuruhku untuk menikahi anton, sarjana hukum itu. ibu bilang dia sudah mapan dan aku bodoh bila melewatkannya."
"seharusnya pernikahan ini terjadi beberapa minggu setelah kita berakhir, namun aku minta sedikit waktu agar aku bisa melupakanmu. namun hasilnya nihil. aku tak pernah benar-benar bisa melupakanmu. sampai detik ini"
"hatiku ini akan selalu jadi milikmu, aku selalu berdoa semoga kamu bahagia."
"dari yang paling menyayangimu, Ve"

selembar surat ini membuatku sekujur tubuhku kaku, dulu, aku mengira dia hanya permainkanku, ternyata jauh dari semua prediksiku.

sebenarnya kami punya perasaan yang sama, kami saling cinta, tapi tak saling memiliki.

menghadapi kenyataan paling aku takutkan dari hidup, aku harus hidup tanpa dia disisiku lagi, harus hidup hanya dengan semua kenangan yang tersisa, tanpa hatinya lagi.

kali ini hujan turun, dengan situasi yang berbeda, dulu hujan ini menyaksikan aku dan dia saling menatap dalam kemesraan, kini hujan menyaksikan aku dengan tetes air mata ve yang mengering di selembar kertas ini.

SEKIAN